Senin, 07 Juni 2010

Kisah Apel

Gerimis merintik. Tak terdengar 'tik-tik-tik'. Hanya laksana potongan benang halus yang terbang dari langit malam, hingga yang kelihatan hanya yang tersorot lampu jalanan. Pengendara motor yang sesekali masih melintas tengah malam, mempercepat laju motornya. Takut, rinai gerimis berubah menjadi hingar-mengguyur-kuyup!
Wanita setengah baya itu, sejam yang lalu mengintip dari balkon rumahnya. Bukan mengintip gerimis. Tak ada pengendara motor yang diintainya. Anak lelakinya yang biasa pulang tengah malam, pun membawa kunci sendiri dan tak perlu ditunggui.
Akhir-akhir ini dia diresahkan oleh lelaki kumal tak berbaju yang sering tidur di emperan rukonya, hingga pagi. Awalnya, anaknya yang pulang tengah malam, bercerita jika lelaki misterius itu tertidur di depan pintu masuk rukonya. Tapi tak digubrisnya. Namanya juga gelandangan! Terlalu kejam jika untuk emperan pun, dia tak mau berbagi.
Tapi saat pagi menjelang dan dia hendak membuka toko kelontongannya, lelaki itu masih tertidur tepat di depan pintu. Berbantalkan lengan, tanpa alas apa pun, lelaki itu masih tetap juga ngorok. Arus lalu lintas di depan ruko, mulai mengalir. Deru mesin, klakson, teriakan kondektur mencari penumpang, tak satu pun mengganggu tidurnya. Bukan hanya nyamuk, beberapa lalat lebih memilih bertengger di tubuhnya daripada mencari makan di tempat sampah yang tak jauh dari tempatnya meringkuk.
Matanya masih tajam mengawasi gelandangan itu. Pintu rukonya belum terbuka sempurna. Sebuah tahi lalat di pipi kiri lelaki itu, membuka semua file masa lalunya yang pernah dia hapus paksa. File itu ternyata masih tertahan di sebuah recycle bin. Tahi lalat di pipi kiri itu, menjadi pengungkit masa lalunya. Sakit lagi. Meski sebelumnya memang tak pernah dia rasakan bersenang-senang. Dia merakit sendiri. Merangkak, bangun dan menegarkan diri saat dia terjatuh. Hingga dia bangkit lagi seperti kini.
Sebotol air mineral jualannya, diraih lalu ditumpahkan di atas kepala gelandangan itu. Byurrr! Gelandangan yang ternyata juga tak waras itu, bangkit dan berlari dari tempatnya. Terkekeh, bicara sendiri tanpa ada yang tahu makna bicaranya. Tapi matanya, jelas menyorot tajam ke wanita yang baru saja menyiram tubuhnya.
"Pergi!"
Dia berlari kencang, saat wanita itu mengusirnya dengan suara penuh amarah.
Malam ini, wanita itu mengintipnya dari balkon. Gelandangan gila itu, mengais-ngais tempat sampah. Sisa makanan dikumpul lalu dilahapnya dengan tangan kumal. Di bawah sorot lampu jalan yang berada tepat di atasnya, lelaki itu menikmati gerimis yang tak juga reda, pun tak berubah deras. Lelaki itu terdengar seperti mengigau, sesekali.
Harapnya, lelaki itu hanya kebetulan mangkal di depan rukonya. Tapi menelusuri lembaran masa lalu, sepertinya mustahil jika itu sebuah kebetulan. Ini Makassar. Lelaki itu terakhir dilihatnya, ditinggalkan tepatnya, di Surabaya.
Dia ingin menyangkal. Membantah kata hatinya jika lelaki itu mantan suaminya, tapi bukan hanya tahi lalat, pemilik tubuh kumal dan kurus itu masih menyisakan jejak masa lalu dari tatapannya. Dia tak ingin masa lalu itu kembali padanya. Bukan karena lelaki itu telah gila dan jadi gelandangan, tapi karena lelaki itu juga pernah membuatnya mendekati gila. Baginya, itu karma. Dulu dia yang diterlantarkan dengan kehadiran istri kedua, istri simpanan, selingkuhan, dan entah wanita jenis apalagi yang dihadirkan untuk melukainya.
Untungnya dia masih punya ruko warisan orangtua, tempatnya berpulang. Hingga dia bisa menjadi single parent buat anaknya yang kini kuliah di universitas swasta.
Gerimis reda. Dia hendak masuk, membiarkan lelaki dari masa lalunya itu, meringkuk di depan rukonya. Tapi suara motor anaknya yang pulang tengah malam, menghalangi langkahnya untuk beranjak.
Dari balkon, jelas sekali, lelaki itu menghampiri anaknya.
"Ridha, kamu jangan mau disentuh olehnya!" teriaknya dari atas balkon.
Anaknya hanya tersenyum. Untuk yang pertama kalinya dia meragukan ketulusan hati mamanya. Biasanya, mamanya yang selalu mengajarkan dia untuk tidak sombong apalagi bersikap angkuh pada siapa pun. Atau orang gila dan gelandangan adalah pengecualian? Anaknya yang tak tahu masalah, hanya menggeleng.
Wanita itu berlari dari balkon, turun untuk meleraikan anaknya dari pegangan lelaki kumal itu.
"Masuk cepat! Kamu tidak jijik melihat dia? Kamu bisa tertular penyakit gilanya. Cepat cuci tangan yang bersih, kulihat kamu tadi menyambut uluran tangannya."
Prakkk!
Pintu ruko tertutup keras. Lelaki kumal itu tersentak. Anaknya keheranan. Di matanya, perlakuan mamanya lebih gila dari lelaki tak waras tadi.
***
Bulan mengintip. Bintang mengintai. Tentulah malam remang. Wanita itu gamang. Ragu. Tapi dia tak ingin mengubah keputusannya. Sebuah apel merah, yang telah disuntikkan racun tikus, dibuangnya ditempat sampah. Tentu saja, bukan untuk dimakan tikus, tapi untuk lelaki yang pernah masuk dalam kehidupannya itu. Pikirnya, kalaupun mati tepat di depan rukonya, orang tak akan curiga. Paling juga orang berpikir, mati karena sakit. Lagi pula, siapa yang akan mengurus dan memperdulikan orang gila seperti dia, untuk diotopsi, diselidiki kematiannya. Keluarganya? Dia takkan gila jika masih punya orang yang peduli padanya. Pemerintah? Negeri ini masih banyak urusan. Kematiannya bahkan dianggap mengurangi sedikit masalah.
Sebenarnya dia tak keberatan, lelaki kumal itu menjadikan emperan tokonya sebagai rumah, seandainya tak ada ikatan masa lalu antara mereka. Dia tak keberatan mantan suaminya itu mengetuk kembali pintu hati yang telah dibantingnya keras, andai lelaki kumal itu tak pernah menelantarkan cintanya. Sulit. Luka cinta memang selalu sulit untuk disembuhkan, teramat sulit untuk dimaafkan.
Dia merapatkan telinga di pintu rukonya saat sebuah langkah terdengar dari luar. Lelaki bejat itu, pikirnya. Saat terdengar suara seperti mengigau. Dia mulai berani menggedor pintu, pikirnya.
"Ini yang terkahir kalinya kamu menggedor pintu rumahku! Aku punya apel merah kesukaanmu dulu. Itu untukmu. Pengantar tidurmu!" lanjut batinnya, penuh benci.
"Ma, buka pintu!"
Mama? Bencinya semakin membuncah. Seperti minuman bersoda dalam kaleng, dikocok lalu dibuka tutupnya. Muncrat! Tapi dia mempertahankan bencinya untuk tidak meluncur dulu. Dia biarkan terkocok oleh suara-suara igauan lelaki dari balik pintu rukonya.
Suara igauan itu, kini reda. Berganti suara sampah kertas yang berserakan.
"A-apel me-merah...."
Wanita itu tersenyum. Senyum pengantar kematian buat lelaki yang selama ini dicintainya.
"Sedikit pahit, tapi enak!"
Dasar gila! umpat batinnya, masih tersenyum, sambil berlalu ke tempat tidur. Dia butuh istirahat yang cukup untuk perannya sebagai orang yang tak tahu apa-apa, besok pagi, saat tubuh lelaki itu didapatkan kaku di depan rukonya.
***
Pintu rukonya ramai digedor orang. Dia masih menyempatkan diri bercermin. Melatih wajahnya untuk tak menampakkan muka gugup, tanpa dosa. Merasa telah menghayati peran, dia beranjak. Begitu pintu terkuak, orang-orang yang berkerumun, memberi jalan untuknya. Seorang lelaki terbujur kaku, meski sangat mirip, tapi dia yakin jika dia bukan lelaki sasaran racun tikusnya. Dia meradang, saat lelaki yang ingin dibunuhnya semalam, kini berdiri di seberang jalan, dengan mata sembab.
Mayat lelaki yang di depannya kini, adalah putra tunggalnya. Semalam pulang dari pesta minuman keras. Mabuk. Mengingau. Melahap apel merah untuk papanya, saat mamanya tak membukakan pintu untuknya.
Lelaki di seberang jalan, masih menatapnya tajam. Seolah dia menunggu di sana. Di dunia lain. Dunia para orang gila. Kehilangan putra tunggalnya, akan mengantar dia ke dunia itu. ©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar