Senin, 07 Juni 2010

Hujan Masih Menari

Dayani melempar pandang keluar. Gadis itu mencoba menikmati jarum-jarum hujan yang terjatuh dan menikam bunga-bunga yang tumbuh di halaman. Terkadang hujan-hujan itu tidak jatuh lurus karena angin yang bertiup kencang. Hujan itu seperti menari. Dan bunga-bunga ikut menari. Seirama dengan tarian hujan.
Dayani menghela nafas. Kedua tangan berpeluk di dada. Ia sangat suka hujan. Hujan di sini, mengingatkan ia akan hujan di rumah.
Di rumah, setiap hujan, ia selalu berdiri di depan jendela kamar. Menikmati hujan yang menari di luar. Entahlah, hujan selalu mendatangkan kedamaian baginya. Terkadang, saat hujan seperti itu imajinasinya juga jadi berkembang liar.
Ia membayangkan, betapa romantisnya jika ia ikut menari bersama hujan. Tidak sendirian. Juga ada lelaki yang menemani. Mereka menari bersama. Bersama hujan. Di bawah hujan. Hujan yang menari.
Atau terkadang ia membayangkan, saat hujan menari, ia sedang bersama seorang lelaki dalam sebuah ruangan. Ruangan kecil saja. Hanya berdua. Sambil berpelukan mereka akan menatap hujan. Hujan yang menari. Lelah menatap hujan, ia akan menyandarkan kepala di bahu sang lelaki. Lelaki yang berbahu kokoh tentu saja.
Iseng tangannya akan merambah pada jurang yang ada di dada sang lelaki. Pada jurang itu harus tumbuh rumput liar. Boleh meranggas atau tersusun rapi. Terserah saja. Dayani menyukai keduanya.
Setelahnya mereka akan terbakar. Terbakar oleh nafsu dan hasrat. Mereka bergumul. Melepas dan dilepas. Menghujam dan dihujam. Mereka menari. Untuk menuntaskan semuanya.
Petir menyambar. Dayani tersentak. Tapi bukan karena suara petir itu. Ia tersentak karena sebuah tangan mendarat pada bahunya.
"Ada apa, Sayang?"
Dayani menoleh. Lantas tersenyum lembut dan menggeleng.
"Kau masih memikirkan telepon dari ayahmu?"
"Tidak."
"Lantas?"
"Aku sedang menikmati hujan."
"Terkadang aku lupa, kau seorang penikmat hujan."
"Hujan ini mengingatkan aku tentang hujan di rumah."
"Kau akan pulang?"
"Tidak."
"Pulanglah."
"Apakah harus?"
"Ayahmu merindukanmu. Ia ingin bertemu. Mungkin yang terakhir."
"Dulu ia mengusirku."
"Sudah ia sesali."
"Aku terlanjur sakit hati."
"Maafkan ia."
"Tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa?"
Dayani menghela nafas. Membuang pandang pada bunga-bunga dan hujan yang masih menari, di luar. Tidak bisa ia jawab tanya itu. Karena sesungguhnya ia bukan hanya sakit hati. Ia juga kecewa, Ayah tidak mau menerima dia sebagai anak lengkap dengan segala kekurangannya. Hanya satu hal yang Dayani inginkan dari Ayah. Biarkan Dayani menjadi sosok yang Dayani inginkan.
Impiannya semasa remaja menjadi nyata sekarang. Sudah ia temukan lelaki itu. Lelaki yang mau menari bersamanya. Tidak saja di bawah hujan atau di dalam sebuah ruangan kecil. Tetapi lelaki itu juga berkenan memberi segala padanya.
Lelaki itu berada di sampingnya sekarang.
Rafael.
***
Dulu sekali. Beberapa tahun yang lampau.
Baru saja Dayanii membuka pintu depan, Ayah berdiri di hadapannya. Wajah Ayah menegang. Nafasnya tidak teratur. Tangan kanan Ayah terangkat, mengacungkan banyak DVD dan beberapa buah majalah yang tak pantas dikomsumsi.
"Apa ini?"
"Ayah tidak berhak masuk ke kamarku dan mengobrak-abrik barang pribadiku."
"Jadi ini barang pribadimu?"
"Tentu saja. Semua yang berada di kamarku, adalah barang pribadiku."
"Anak edan kau!" Ayah mengumpat. Muka Ayah memerah. Bibirnya sampai bergetar karena emosi.
Mereka bertengkar. Adu mulut. Ibu hanya bisa menangis. Di sofa sudut. Mungkin Ibu merasa berdosa, gagal dan tidak berharga. Ibu hanya bisa melahirkan satu anak. Tapi tidak bisa menjaga juga mengawasi.
Ayah mengusirnya. Malu punya anak seperti Dayani. Ia haramkan Dayani. Selamanya. Sampai ke liang kubur.
Sedang Ibu hanya menatap dengan aliran sungai deras di pipinya yang mengeriput. Di ambang pintu, Dayani menatap Ibu. Lama mereka bertatapan. Meski tanpa kata Dayani mengerti. Ibu menyalahkan Dayani, tapi Ibu juga ingin Dayani bertahan di rumah.
Dayani pergi. Tanpa pamit pada Ibu.
***
Telepon di malam hari. Saat sepi tengah merayap. Rafael terbangun. Di sampingnya Dayani lelap. Dengkurannya halus mampir di telinga Rafael.
Rafael keluar dari kamar untuk mengangkat telepon yang berdering itu. Hatinya bergetar. Dering telepon di waktu yang tidak wajar membuat pikiran tidak tenang.
"Halo!"
"Selamat malam! Bisa bicara dengan Rafael?" Suara dari seberang sangat jauh, bergetar.
"Saya sendiri."
"Saya Bustaman. Ayah Dayani."
Dada Rafael bergetar. Nama itu sudah akrab di telinganya. Dulu, kerap Dayani menyebut nama itu.
"Bapak mau bicara sama Dayani?"
"Oh, tidak! Tidak! Bapak ingin bicara sama kamu."
"Tentang?"
"Bapak sudah tahu semuanya. Bapak dengar dari sepupu Dayani."
"Maafkan saya, Pak!"
Suara dari seberang tertawa. Meski kering, tapi Rafael tahu tawa itu tulus.
"Kau mencintai Dayani?"
"Sangat."
"Bahagiakan dia."
"Semampu saya, Pak."
Helaan nafas di seberang terdengar berat. Mungkin pengaruh dari penyakitnya.
"Tolong, bujuk dia untuk pulang. Menjenguk saya. Sesaat saja."
"Akan saya usahakan."
"Sampaikan permintaan maaf saya. Saya sesali semuanya. Saya terlalu egois. Semua yang terjadi padanya, karena kesalahan saya. Saya terlalu keras padanya."
"Bapak jangan merasa bersalah. Itulah takdirnya. Jalan yang ia kehendaki."
"Sesungguhnya saya mencintainya."
"Saya tahu."
"Saya merindukannya. Lebih sepuluh tahun."
"Akan saya bujuk dia untuk pulang."
"Bapak mohon kau mengerti. Dayani anak Bapak satu-satunya. Tidak mudah menerima semua itu dengan dada lapang. Tapi sekarang, Bapak sudah menerima semuanya."
"Saya mengerti, Pak!"
"Syukurlah."
"Sebaiknya, Bapak bicara saja sama Dayani. Akan saya bangunkan dia."
"Tidak usah. Bapak tidak mau mengganggu tidurnya. Sampaikan saja pesan Bapak."
"Baiklah."
Percakapan berakhir. Telepon ditutup. Ia senang bisa berbicara dengan lelaki itu. Amanat yang dia beri amat mudah untuk Rafael laksanakan.
Pagi-pagi sekali. Rafael menyiapkan sarapan di atas meja. Segelas kopi dan setangkup roti bakar, khusus untuk Dayani.
Dayani keluar dari kamar. Rambut acakan. Wajah kuyu. Tapi sangat menarik di mata Rafael.
"Duduklah. Aku sudah siapkan sarapan untukmu."
"Terima kasih."
"Tadi malam ayahmu menelepon aku. Dia ingin kau pulang."
"Aku tidak akan pulang."
"Mungkin itu permintaan terakhirnya."
"Aku tidak perduli."
"Jangan begitu. Dia ayahmu."
Dayani menggeleng tegas.
Rafael menarik napas kecewa.
***
"Aku akan pulang."
Itu ucapan Dayani. Sehabis mereka menari. Peluh masih bercucur di tubuh. Belum ada waktu untuk menghapus. Mereka terlentang di atas ranjang. Bersisian. Tanpa busana. Sepolos bayi suci.
"Memang itu seharusnya," sahut Rafael tanpa menatap. Tanpa sentuhan. Ia senang mendengar.
"Meski saat pergi dari rumah, sudah kusumpahkan tidak akan pernah pulang. Tanpa nyawa sekalipun."
"Sumpah bukan takdir."
"Aku pulang karena kau minta. Aku mencintaimu. Kulakukan semua yang kau ingin. Selagi aku mampu."
"Kapan kau pergi?"
"Secepatnya."
Rafael tersenyum.
Dayani tersenyum.
Lagi, mereka lepas malam dengan menari. Sepanjang malam. Tanpa hujan menari di luar.
***
"Salam untuk Ayah dan Ibu. Maaf aku tidak bisa ikut. Terlalu sibuk. Bilang juga pada Ayah, aku selalu berdoa. Semoga Ayah cepat sembuh."
"Akan kusampaikan."
"Telepon aku sesampai di sana."
"Pasti."
"Pulsa akan aku isi."
"Terima kasih."
"Berapa lama kau di sana?"
"Entahlah. Tergantung suasana."
"Cepatlah kembali. Aku membutuhkanmu di sini."
Dayani tersenyum.
"Kasih kabar kalau akan pulang. Biar kujemput di bandara."
Dayani mengangguk.
Mereka berpeluk. Erat. Sekilas Rafael mencium pipi Dayani. Berat untuk melepas. Tapi harus. Bukan selamanya. Akan bertemu kembali.
"Pergilah."
Dayani masuk. Menjinjing sebuah tas kecil. Rafael berdiri di situ. Tidak beranjak sebelum ia lihat si burung besi membawa separuh jiwa dan nafasnya. Bersama Dayani.
Sebelum masuk ke mobil, Rafael mendongak ke atas. Menatap si burung besi. Ia tersenyum. Ia sudah merindu.
***
Lagi, Rafael coba menghubungi. Tidak aktif. Selalu saja. Dayani pasti sudah sampai di rumah. Ia hanya ingin menanya kabar. Selain melepas rindu.
Rafael kesal. Ia letakkan HP. Ia hidupkan televisi, meski di luar hujan menari dengan cepat.
"Pesawat X dengan nomor penerbangan Y, rute A menuju B kehilangan kontak saat berada di sekitar lautan Z. Pesawat yang membawa penumpang 124 beserta 8 awak ini bertolak dari A jam 14.30 WIB dan dijadwalkan tiba di B sekitar dua jam kemudian. Namun sampai malam ini...."
Rafael hanya bisa diam. Diam dan diam.
Di luar, hujan tetap menari. Meski tanpa kedua insan itu. ©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar